
Fenomena mudik ini multitafsir. Secara fisik, mudik adalah proses kembali ke daerah asal, entah itu kampung halaman, tanah kelahiran, dan sebagainya. Tidak heran bila setiap Lebaran tiba, jalan-jalan menuju daerah dijejali dengan kendaraan para pemudik. Macet sudah menjadi konsekuensi ritual tahunan ini yang dimaklumi.
Secara spiritual, mudik memiliki makna seperti halnya Idul Fitri. Mudik diartikan secara lebih dalam sebagai proses kembali ke fitri, asal-usul, hakikat manusia. Untuk kembali kepada asal-usul, hakikat keberadaan manusia, fitrah ini dicapai melalui laku ugahari dengan puasa selama 30 hari. Puasa di sini dimaksudkan sebagai latihan rohani untuk mengekang segala hawa nafsu duniawi dan mendekatkan dengan yang Ilahi.
Dalam bahasa Jawa, mudik itu artinya "mulih." Mulih itu di sisi lain diartikan sebagai "pepulih" (proses memulihkan). Memulihkan apa? Memulihkan sesuatu dari kerusakan. Mudik dalam konteks ini diartikan sebagai proses pemulihan diri dan kemanusiaan yang sempat rusak, terkoyak, oleh urusan dan kesibukan duniawi di kota. Ada unsur pertobatan dalam makna "mudik" di sini. Dan, itulah yang menjadi inti utama dari mudik dan Idul Fitri.