Polwan di Indonesia lahir pada 1 September 1948, berawal dari kota Bukittinggi, Sumatera Barat, tatkala Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) menghadapi Agresi Militer Belanda II, dimana terjadinya pengungsian besar-besaran pria, wanita, dan anak-anak meninggalkan rumah mereka untuk menjauhi titik-titik peperangan.
Untuk mencegah terjadinya penyusupan, para pengungsi harus diperiksa oleh polisi, namun para pengungsi wanita tidak mau diperiksa apalagi digeledah secara fisik oleh polisi pria.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Pemerintah Indonesia menunjuk SPN (Sekolah Polisi Negara) Bukittinggi untuk membuka "Pendidikan Inspektur Polisi" bagi kaum wanita. Setelah melalui seleksi terpilihlah 6 (enam) orang gadis remaja yang kesemuanya berdarah Minangkabau dan juga berasal dari Ranah Minang yaitu
- Mariana Saanin Mufti
- Nelly Pauna Situmorang
- Rosmalina Pramono
- Dahniar Sukotjo
- Djasmainar Husein
- Rosnalia Taher
Sementara ISTILAH polwan (polisi wanita) sudah lama dipakai dan dianggap sebagai istilah yang benar. Bukan hanya orang awam bahasa Indonesia yang mengatakan demikian. Bahkan satu dua sarjana Bahasa Indonesia juga mengatakan istilah polwan merupakan istilah yang benar. Sayangnya, argumentasinya sederhana sekali, yaitu karena istilah polwan sudah lama dipakai dan sudah lazim.
Polwan merupakan akronim dari dua kata, yaitu “polisi” dan “wanita”. Kedua istilah itu mengikuti Hukum DM (Diterangkan-Menerangkan) yang berlaku di Indonesia. Istilah polwan atau polisi wanita (hukum DM) jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris menjadi polisi = police dan wanita= woman. Jadi terjemahannya sesuai Hukum MD yaitu “woman police”
Kalau kita cari di Webster Dictionary atau kamus-kamus standar internasional lainnya, tidak satupun kamus yang mencantumkan kata ” woman police”. Ternyata, di semua kamus bertaraf internasional, yang ada adalah istilah “policewoman” (Hukum MD) yang kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia adalah “wanita polisi” (Hukum DM)