Perang ini adalah hasil dari kumpulan kekecewaan yang meluas di Jawa Tengah namun merambat ke sebagian besar Jawa Timur dan sedikit Jawa Barat. Artinya jelas, perang tersebut mencakup sebagian besar Jawa, karena itu Belanda menyebut dengan Perang Jawa dan Indonesia mengenalnya dengan Perang Diponegoro karena dipimpin oleh seorang pangeran dari Kesultanan JogJa yaitu Diponegoro (1785-1855), yang bernama asli Ontowiryo anak Sultan Hamengkubuwono III dari selir.
Tempat di mana imperialis Barat mendapat pijakan kuat pertama di Jawa adalah Jayakarta, setelah membakar kota tersebut dan membangun ulang dengan nama Batavia pada 1619. Kota tersebut terletak di antara dua kerajaan yang berhasrat “menelannya” yaitu Banten dan Mataram. Mataram pernah mencoba menyerbu dua kali dan berakhir gagal, Banten sering menyerang aset Barat di daerah pinggiran kota.
Waktu berjalan terus, kuasa Belanda makin kuat dan pesat. Namun pembusukan akibat praktek KKN di tubuh VOC dan perlawanan pribumi berakibat kebangkrutan dan lemah terhadap serbuan luar, yaitu Inggris. Pada 1799 VOC tutup dan segala aset dan hutang diambil alih oleh pemerintah. Suasana Eropa yang gawat akibat Revolusi Perancis juga berdampak ke seluruh jajahan Barat di seberang laut. Belanda seakan terbelah: ada yang pro Perancis dan ada yang anti, adapun keluarga monarki mengungsi ke Inggris. Inggris merasa mendapat mandat merebut jajahan Belanda sekaligus cemas jika wilayah tersebut menjadi pangkalan Perancis, suatu hal yang kelak terbukti. Pasukan Perancis tiba di Jawa untuk memperkuat pulau tersebut dari serbuan pasukan Inggris.
Napoleon memilih tokoh yang dinilai kuat untuk menjaga Jawa yaitu Marsekal Hermann Willem Daendels. Dia tiba di Anyer pada 1808 dan segera bertindak. Untuk mempertahankan Jawa dia memerintahkan kerja rodi membangun jalan raya lintas Jawa dari Anyer ke Panarukan, sekitar 1.000 km. Pembangunan tersebut meminta tumbal besar nyawa warga, hingga kini jalur tersebut masih dipakai. Dia juga membuat beberapa peraturan yang melukai perasaan beberapa elit di Jawa semisal pangeran, bahkan sultan.
Daendels diganti dengan Jenderal Janssen pada 1811, yang hanya berkuasa singkat karena pasukan Inggris menyerbu Jawa. Perioda kekuasaan Inggris di Jawa juga menampilkan Raffles. Secara menyeluruh perioda kekuasaan Inggris di Jawa tidak nyaman bagi pribumi walaupun konon relatif sedikit lebih manusiawi dibanding Belanda. Perkembangan, atau lebih tepat keresahan perioda ini kelak makin mengarah kepada suatu perang berikut di Jawa, yaitu perang yang dinilai sebagai peristiwa penting bagi sejarah Jawa karena beberapa hal:
Perang terbesar di Jawa terakhir pada perioda pra 1945 dengan korban sekitar 200.000 orang termasuk sekitar 15.000 orang yang berdinas militer Belanda serta menguras kas negara Belanda sekitar 20.000.000 gulden.
Peristiwa yang memisahkan dua zaman yaitu zaman “ancient regime” para raja Jawa dengan zaman kolonial Barat yang penuh. Hasil perang tersebut memperjelas kedudukan para raja Jawa sebagai bawahan Barat. Sebelumnya – minimal teoritis – status para raja Jawa selevel dengan kolonial Barat.
Bagi pribumi, perang tersebut merupakan revolusi karena untuk pertama kali terjadi perlawanan dari satu di antara beberapa keraton di Jawa Tengah yang memiliki bobot faktor sosio-religi dan bukan sekadar perselisihan keluarga keraton. Seorang pangeran mampu memiliki kharisma besar terhadap rakyat luas karena mampu “mengelola” kebencian terhadap rezim kolonial, dia seakan membawa semacam harapan baru yaitu kehidupan yang lebih baik berdasar agama atau “membersihkan tanah Jawa” melalui proses perang sabil untuk mengusir kolonial. Boleh dibilang dia sosok “ratu adil” atau “Imam Mahdi” menurut alam fikiran orang Jawa –suku mayoritas di Nusantara. Walaupun Diponegoro dinilai oleh sebagian orang masih jauh dari “potongan” Muslim ideal dalam arti berfaham Islam murni, karena masih terkait dengan faham mistik Jawa, sulit dibantah bahwa dia serius melaksanakan ajaran agama sejauh yang dia tahu dan dia mampu. Dia menilai dirinya sebagai “alat kehendak tuhan” konon berdasar pertemuannya dengan penampakan Nyi Roro Kidul, nama siluman penguasa laut selatan Jawa. Sang ratu konon berkata, “… ini kehendak Tuhan, nasib Jawa telah ditakdirkan. Kamu yang melaksanakan tugas karena tak ada orang lain…”
Dalam korespondensi selama perang, dia memakai gelar “Sultan Ngabdulkamid Erucakra Kabirul Mukmin Sayidin Panatagamaning Jawa Kalifat Rasulullah” dan berulang-ulang menyatakan maksudnya yaitu “membentuk negara berdasar Islam di tanah Jawa”. Tak ada beda tujuannya dengan gerakan Paderi di Minangkabau. Perang ini dimulai dari proyek pembangunan jalan raya oleh pemerintah kolonial melalui tanah milik pangeran tanpa izin, dan berakhir dengan penangkapan pangeran ketika berunding di Magelang. Usai perang, rezim kolonial mencoba mencegah kebangkitan pribumi, terlebih yang berbasis agama.
Pemerintah segera mengundang para misionaris dan zending untuk menyebar pengaruh Barat lebih giat. Beberapa markas dibangun semisal di Magelang, Salatiga dan Ambarawa. Persis di jantung Jawa! Perbedaan antara Muslim “mutih” dan “abangan” diperbesar untuk memecah belah umat. Umumnya kelompok abangan cenderung kepada Belanda, atau Barat pada umumnya. Sejak dulu mereka menentang corak Indonesia yang Islami, sadar tak sadar mereka menjadi antek imperialis Barat walau di antara mereka aktif melawan rezim kolonial. Namun mereka tidak menjadikan Islam sebagai dasar perjuangan. Inilah yang turut menyebabkan kelak Revolusi 1945 gagal lepas dari pengaruh Barat dan makin menjauhkan Indonesia dari tujuan kemerdekaan.